Memiliki gelar Ahli Farmasi bukan sekadar sebuah titel. Profesionalitas, komitmen, dedikasi, dan pengabdian menjadi aspek yang kompleks dari tanggung jawab yang diemban oleh seorang ahli farmasi. Gelar Ahli Madya Farmasi (A.Md. Farm) maupun Sarjana Farmasi (S. Farm) adalah simbol profesionalitas yang mencerminkan pengetahuan dan keterampilan dalam pengolahan, peracikan, serta pemahaman mengenai beragam jenis obat dan penggunaannya. Gelar tersebut diperoleh setelah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi melalui program Diploma 3 Farmasi (D3 Farmasi) atau Sarjana S1 Farmasi. Namun demikian, pendidikan farmasi kini juga tersedia di tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang memberikan dasar keilmuan bagi siswa yang berencana melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, dengan pemahaman awal tentang farmasi sebelum memasuki perguruan tinggi.
Setiap institusi pendidikan, baik sekolah maupun universitas, memiliki kurikulum yang berbeda-beda, menghasilkan variasi dalam mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Pada umumnya, mata kuliah yang dipelajari dalam jurusan farmasi mencakup farmasetika dasar, farmasi fisika, biokimia, farmakologi dasar dan toksikologi, farmakognosi, farmakologi sistem organ, farmasi forensik, interaksi obat, hingga farmasi klinik. Seperti jurusan lainnya, farmasi juga memiliki peminatan. Universitas biasanya memiliki kebijakan tersendiri dalam menentukan peminatan ini, yang mencakup farmasi sains dan teknologi, farmasi industri, farmasi klinik, dan farmasi bahan alam.
Dengan perkembangan teknologi yang pesat, terutama dalam industri farmasi, kebutuhan akan tenaga kefarmasian terus meningkat. Hal ini semakin terlihat setelah dunia dilanda pandemi Covid-19, di mana ahli farmasi berperan penting dalam pengembangan obat dan vaksin dalam waktu yang relatif singkat. Ini menunjukkan profesionalitas mereka dan pengabdian mereka kepada masyarakat.
Jenjang karir di bidang farmasi sangat beragam, termasuk menjadi apoteker, bekerja di rumah sakit, klinik, laboratorium, maupun perusahaan farmasi. Instansi pemerintah juga banyak membutuhkan tenaga kefarmasian, seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, dan puskesmas. Tenaga kefarmasian bukan hanya memperoleh gelar setelah menempuh pendidikan, tetapi juga terlibat dalam langkah nyata seperti membuat dosis, meracik, meramu, membentuk, dan menyimpan obat serta menjamin stabilitasnya agar aman digunakan bagi pasien. Semua ini melalui disiplin keilmuan yang menjadi fundamental keahlian yang tidak dimiliki profesi lain.
Pertanyaan mengenai bagaimana menjamin integritas tenaga kefarmasian mencakup berbagai aspek, salah satunya adalah etika profesi. Seorang ahli farmasi harus memiliki prinsip etika kefarmasian yang meliputi prinsip tanggung jawab, prinsip keadilan, prinsip otonomi, dan prinsip integritas moral. Keputusan Kongres Ikatan Apoteker Indonesia nomor 014/KONGRES.IAI/XXI/VI/2022 tentang Penetapan Kode Etik Apoteker Indonesia menetapkan beberapa kewajiban, termasuk kewajiban umum, kewajiban apoteker terhadap diri sendiri, pelayanan pelanggan, rekan sejawat, profesi kesehatan lainnya, dan sediaan farmasi serta perbekalan kesehatan lainnya. Etika tersebut harus konsisten diterapkan untuk memastikan pengambilan keputusan yang optimal dan meminimalkan risiko negatif.
Untuk menghimpun dan menjaga komitmen serta integritas tenaga kefarmasian, dibentuklah organisasi Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI) pada 13 Februari 1946 di Hotel Merdeka Yogyakarta, dengan Zainal Abidin sebagai Ketua pertama. Salah satunya pafikabsukamara.org Dalam Anggaran Dasar PAFI hasil Munas XIV 16 Februari 2019 Bab VI Pasal 16, tugas pokok PAFI adalah meningkatkan pelayanan dan praktik kefarmasian di Indonesia. Pasal 17 menyebutkan bahwa PAFI berfungsi sebagai wadah dan sarana penyalur kegiatan anggota dalam menggalang persatuan dan kesatuan untuk pembangunan kesehatan di bidang kefarmasian. PAFI juga berperan sebagai sarana pengembangan dan pembinaan keahlian, memperjuangkan hak dan kewajiban anggota, serta sebagai penyalur aspirasi dan komunikasi antar anggota, organisasi, dan pemerintah. PAFI membantu memenuhi kebutuhan masyarakat dari produksi hingga pelayanan kefarmasian serta pendidikan kefarmasian, sekaligus mendorong dan memfasilitasi pendidikan berkelanjutan bagi anggota. Dengan demikian, diharapkan melalui PAFI, tenaga teknis kefarmasian dapat memberikan kontribusi nyata dalam tatanan kesehatan masyarakat dan menghasilkan tenaga teknis kefarmasian yang handal dari sistem pendidikan yang berkualitas.